Salam kompasianer,
Sejatinya udah bukan rahasia lagi bahwa cara pikir, cara pandang dan respon warga +62 dalam menyikapi satu kondisi sangat beragam, ya sangat beragam.
Hal ini wajar saja mengingat Negara Republik Indonesia ini adalah negara kepulauan yang sangat luas dan besar. Di dalamnya ada banyak suku, bahasa dan banyak keragaman yang saling melengkapi.
Sisi lain dari hal itu adalah ada banyak perbedaan pola konsep, sudut pandang dan cara berpikir dalam menghadapi satu persoalan atau situasi.
Entah apa yang ada dalam pikiran mereka yang dipandang ganjil tapi tetap asik dan percaya diri bahwa apa yang ia lakukan adalah benar.
Covid 19 Mencatatkan Pola Unik Warga +62
Wajib Pake Masker, Pasien Hanya Dilayani Apabila Pake Masker.
Hal ini dimaknai hanya saat mau periksa pake masker, selama perjalanan dan datang masker hanya dikantongi, dan saat mau masuk rumah sakit baru dipake masker.
"Pak, kenapa nggak dipake maskernya?" tanyaku di luar rumah sakit.
"Kan dokternya belum datang" jawabnya enteng.
Saat orang lain yang lakuka hal serupa saya tanya kenapa baru pake masker mau masuk ke rumaj sakit?
"kan mau priksa mas, kalau nggak pake masker nggak boleh priksa"
Aman, Lupa Bawa Masker Nggak Papa Selama Tidak Ada Oprasi Yustisi.
Sesangar sangarnya covid 19, nyatanya tidak membuat semua warga +62 takut pada covid.
Ia sadar bahwa ia harus ikuti anjuran pemerintah, untuk cuci tangan pake sabun, jaga jarak dan pake masker.
Tapi ternyata realita, banyak warga +62 mengikuti anjuran pemerintah bukan karena kwganasan covid 19, melainkan karena takut kena razia oprasi yustisi.
"untung nggak ada operasi masker"
"Kenapa?"
Ya kan malu mas, suruh hafalin pancasila, "saya sih hafal tapi takut grogi di tonton banyak orangbterus lupa deh, kan malu," katanya.
Disinggung soal covid 19, kalau kena ya takdir, ini propaganda dll
Bapak ibu, maaf jaga jarak duduknya.
"Bapak nggak lihat, ini jaga jarak saya," katanya.
Saya harus bagaimana sedih, ndongkol, kecewa atau bahagia saja.
"yang nggak boleh diduduki kursi yang ada silangnya kan?"
Iya, kataku.
Dan ia bilang ini kan tidak saya duduki tapi saya ikut minta tempat duduk sama mas ini, cape mas nunggu berdiri dari tadi " katanya
Maaf ini kursinya satu orang satu.
"mana aturannya? nggak ada tulisannya hanya diminta duduknya misah atau jaga jarak ko."
Bagi saya hal yang sepele ini menjadi cermin kehidupan warga +62, ada keunikan tersendiri dan tentu menghibur.
Bahwa apapun yang dianggap benar dalam pikiran kita bisa jadi itu hanya peta mental, persepsi yang dianggap terbaik dan menguntungkan.
Pelajaran berharganya adalah bahwa dalam berkomunikasi dengan warga +62 butuh seni komunikasi yang efektif, biar pesan bisa diterima dengan baik.
Hal ini yang perlu di perhatikan adalah faktor pendidikan, suku, bahasa, usia calon penerima pesan yang kita komunikasikan.
Aziz Amin, MPC INDONESIA
Kompasianer Brebes, Trainer & Hipnoterapist, WA 0858.6767.9796
Sumber : https://www.kompasiana.com/azizamin/5fdffe01d541df62ed2c1982/mengenal-cara-pikir-warga-62
 
 









 
